Jumat, 30 Oktober 2009

Dari Nietzsche Ke Olimpiade Sastra

Pada tahun 1876, sebuah festival diselenggarakan di Bayreuth atas
prakarsa King Ludwig II, Bavaria, untuk menggelar karya-karya
komposisi Richard Wagner. Seorang filsuf tak dikenal pada waktu itu
diundang untuk menghadiri festival ini.

Filsuf itu hadir di festival Bayreuth karena, selain sebagai sahabat
dekat sang komposer, dia memang penggemar berat karya-karya Richard
Wagner. Namun, apa yang disaksikannya di Festival Bayreuth itu justru
membuat dia jatuh pingsan di tengah keramaian.

Apa yang terjadi dalam festival itu sungguh mengguncang sistem
pemikiran sang filsuf sehingga membuat dia menelaah kembali secara
kritis apa yang disaksikannya di festival itu.

Kegundahan intelektualitasnya membuahkan dua karya pemikiran filsafat
yang sangat terkenal, yakni Human, All-too- Human dan Ecce Homo. Dua
karya yang mengecam habis-habisan kemerosotan kebudayaan dan
kebobrokan moralitas kelas borjuis. Hubungan filsuf ini dengan
panutannya, Richard Wagner, sejak saat itu meretak. Filsuf ini bernama
Nietzsche.

Hari ini kita paham cikal bakal kegundahan Nietzsche pada Wagner dan
Festival Bayreuth berlandasan pada kemuakkannya pada orang-orang
borjuis yang dianggap terlalu mengagung-agungkan seorang pencipta
karya seni. Juga frustrasi sekaligus kekecewaannya pada Richard Wagner
yang, di matanya terlihat sebagai seorang seniman sejati, semestinya
tidak membiarkan dirinya dielu-elu bagaikan seorang mahadewa.

Dua abad kemudian kita perlu mengutak-atik kembali pemikiran
Nietzsche. Di abad ke-21 ini hanya para rocker dan bintang layar lebar
Hollywood yang menikmati layanan istimewa seperti yang disesalkan oleh
Nietzsche itu. Pemikir, ilmuwan, komposer, bahkan rupawan paling
terkenal sekalipun saat ini tidak bisa lagi mengimbangi kejayaan yang
pernah dinikmati oleh Sartre, Einstein, Wagner atau- pun Picasso pada
masanya. Saya yakin hanya sejumput manusia yang kenal baik nama-nama
ini: W.G. Sebald, Garrett Lisi, Alain Badiou, dan Gerhard Richter.

W.G. Sebald adalah penulis sastra yang dianggap salah satu penulis
terbesar saat ini. Garrett Lisi dengan makalahnya, A Very Simple
Theory of Everything, dianggap fisikawan yang telah menemukan sebuah
solusi elegan untuk menyatukan teori relativitas dan teori partikel
yang telah mengganggu para ilmuwan sejak masa Einstein.

Alain Badiou adalah seorang filsuf yang dianggap berhasil
mengembalikan filsafat ke jalur baru, sejak filsafat diluluhlantakkan
oleh para pemikir pascamodern. Gerhard Richter adalah rupawan Jerman
yang dianggap rupawan paling hebat di masa ini.

Hari ini mereka hanya dikenal sebagai dewa di kelompok masing-masing.
Bagi orang awam, mereka hanya nama-nama tidak berarti sama sekali.
Pada saat ini, hampir mustahil, seorang pemikir bisa menggapai
ketenaran yang begitu berpengaruh seperti Sartre ataupun mereka yang
nama-nama saya sebutkan di atas.

Wacana yang menyerpih

Di era serba fragmentaris ini, yang digambarkan oleh Nietzsche sebagai
abad “Tuhan yang telah mati” , sangatlah sulit bagi seorang seniman,
ilmuwan atau- pun pemikir besar untuk mendominasi wacana publik. Suara
orang-orang istimewa ini sudah kehilangan geregetnya. Walaupun
internet memungkinkan kita menyebarluaskan sebuah wacana ke seluruh
dunia dalam sekejap, ia juga berhasil memecahbelahkan pusat perhatian
dunia sehingga dampak sebuah wacana menjadi serpihan-serpihan tak berarti.

Di dunia cerai-berai seperti sekarang ini, komik, seni rupa, seni
performa, apa saja yang mudah dicerna dan tidak membuat jidat mengerut
menjadi penguasa di bidangnya. Alasannya sangat sederhana, mereka
mempunyai daya tarik massal yang tinggi. Semakin berpengaruh massa
itu, semakin sederhana tuntutan manusia pada sebuah karya seni.

Manusia modern tidak lagi memiliki waktu untuk menafsir sebuah karya
seni secara saksama. Semuanya harus supra cepat dan tidak bertele-tele.

Maka kapasitas berpikir dan daya ingat pun menjadi semakin dangkal dan
manusia pun kehilangan toleransi dan kesabaran. Dalam list bestseller
New York Times sekarang nama-nama seperti John Grisham dan Daniel
Steele mendominasi.

Di zaman sekarang, asal kasar, melawan konvensi dan tebal muka,
karya-karya tersebut akan diserap langsung oleh masyarakat.

Dalam keadaan seperti ini, maka tidak heran dan perlu kita syukuri
keagresifan negara-negara berkembang dalam mempromosikan kebudayaan
dan pencipta seni ataupun pemikirnya. Mereka dianggap sebagai
aset-aset nasional yang perlu didukung karena mereka menonjolkan
kebudayaan dan memperkenalkan keunikan peradaban masing-masing negara,
yang pada ujungnya merupakan sebuah tindakan yang bersifat politis dan
pragmatis karena ia meningkatkan turisme dan pemasukan devisa. Apa
yang ditakutkan oleh Nietzsche, dua abad kemudian menjadi sebuah hal
yang perlu kita dukung secara mutlak.

Di negara-negara yang lebih maju, di mana bergelimang kekayaan
pribadi, banyak filantropis yang bermunculan. Kepedulian mereka tidak
hanya di tingkat kepantasan seorang individu mengembalikan ke
negaranya apa yang telah mereka keruk darinya. Alasan mereka kini jauh
lebih pribadi dan mendalam: bagi sebagian filantropis urusannya bukan
lagi altruisme, tetapi sebuah kecintaan mendalam pada bidang-bidang
kesenian yang mereka dukung. Beberapa nama belakangan bermunculan
menjadi pahlawan filantropis: Bill Gates, Oprah Winfrey, dan Maurice
Saatchi.

Agresivitas budaya

Tidak heran bila kemudian kita menyaksikan pertumbuhan yang begitu
dahsyat di berbagai bidang kesenian dan kebudayaan di negara-negara
yang begitu agresif membelanya. Mengikuti jejak negara tetangganya,
Jepang, Korea secara agresif mempromosikan kebudayaannya di negara kita.

Negara-negara Eropa sudah bertahun-tahun mempromosikan kebudayaan dan
keseniannya di negara kita. Negara-negara Amerika Latin seperti Cile
dan Brasil juga tidak mau kalah dalam mempromosikan keunikan
kebudayaan mereka. Melalui prakarsa yayasan Pablo Neruda, misalnya,
Cile pernah memberikan Pramoedya Ananta Toer sebuah penghargaan.
Brasil saat ini sedang mempromosikan Capoera dan kulinernya kepada
masyarakat kita.

Di negeri ini, sebuah aksi agresif yang mendayagunakan produk budaya
sebagai senjata utama penegakan karakter dan integritas sebuah bangsa
tidak tampak dalam setiap kebijakan publik maupun jargon para calon
pemimpin yang sibuk untuk dipilih belakangan ini.

Tak ada semacam strategi kebudayaan yang kuat, visioner, dan
progresif. Kesenian sebagai produk budaya terpenting menjadi komoditas
alientif dalam retorika politik-ekonomi kita yang riuh. Terlebih
kesusastraan, sebagai satu puncak kesenian, mendapatkan apresiasi yang
hampir nol di kalangan elite kita.

Belum lagi posisinya yang tak hanya terpojok karena desakan teknologi
digital seperti video games dan perangkat informasi-komunikasi, sastra
pun menjadi bidang yang dianggap kurang menjanjikan oleh orang muda
saat ini. Penulis-penulis sastra serius harus berjuang mati-matian
untuk bisa mencukupi keperluan sehari-hari hanya untuk sekadar
bertahan hidup dan setia pada profesi. Dan terlalu minim kebijakan
publik yang mau menyentuh hal itu. Kemiskinan sastra terjadi sudah
secara struktural; tertolong karena kegigihan para aktivis/pelakunya saja.

Oleh karenanya, di tengah ribut kita pada upaya promosional dengan
program binaan atau penyelenggaraan berbagai olimpiade sains, betapa
bermartabatnya bila juga diikuti oleh sebuah ide bagi penyelenggaraan
sebuah olimpiade sastra. Yang melibatkan segala lapisan masyarakat
luas, yang tak hanya menggalakkan apresiasi dan penciptaan sastra,
tetapi juga kian meneguhkan karakter kebudayaan kita yang dihargai
dunia sejak beberapa milenia lalu. Dalam gelapnya, sastra memerlukan
bintang-bintang yang menyelamatkan pelayarannya.

Dimuat di Kompas 11 Oktober.