Kamis, 02 Desember 2010

FARMAKOLOGI OBAT-OBAT ANTIHISTAMIN NON SEDATIF PADA PENYAKIT ALERGI

PENDAHULUAN
Pada tahun 1940 untuk pertama kali diperkenalkan obat antihistamin. Sejak
itu secara luas digunakan dalam pengobatan simtomatik penyakit alergi. Pada
umumnya antihistamin yang beredar di Indonesia mempunyai spektrum luas artinya
mempunyai efek lain seperti antikolinergik, anti serotonin, antibradikinin dan alfa
adrenoreseptor bloker. Golongan obat ini disebut antihistamin (AH1) klasik (1).
Histamin adalah suatu alkoloid yang disimpan di dalam mast sel. dan
menimbulkan berbagai proses faalan dan patologik. Pelepasan histamin terjadi akibat
reaksi antitigen-antibodi atau kontak antara lain dengan obat, makanan, kemikal dan
venom. Histamin ini kemudian mengadakan reaksi dengan reseptornya (H1 dan H2)
yang tersebar di berbagai jaringan tubuh. Perangsangan reseptor H1 menyebabkan
kontraksi otot polos, peningkatan permeabilitas kapiler dan reaksi mukus.
Perangsangan reseptor H2 terutama menyebabkan sekresi asam lambung.
Penderita yang mendapat obat AH1 klasik akan menimbulkan efek samping,
mengantuk, kadang-kadang timbul rasa gelisah, gugup dan mengalami gangguan
koordinasi. Efek samping ini sering menghambat aktivitas sehari-hari, dan
menimbulkan masalah bila obat antihistamin ini digunakan dalam jangka
panjang (1).
Dekade ini muncul antihistamin baru yang digolongkan ke dalam kelompok
AH1 sedatif yang tidak bersifat sedasi, yang memberikan harapan cerah. Termasuk
dalam AH1 non sedatif ini adalah; terfenidin, astemizol, loratadin, mequitazin.
FARMAKOLOGI
AH1 non sedatif berbeda dengan AH1 klasik oleh sifat farmakokinetiknya.
Secara in-vitro diketahui bahwa terfenidin, astemisol terikat lebih lambat kepada
reseptor H1 daripada AH1 klasik dan jika telah terikat akan dilepaskan secara lambat
dari ikatan reseptor.
TERFENIDIN (2)
Merupakan suatu derivat piperidin, struktur kimia. Terfenidin diabsorbsi
sangat cepat dan mencapai kadar puncak setelah 1-2 jam pemberian. Mempunyai
mula kerja yang cepat dan lama kerja panjang. Obat ini cepat dimetabolisme dan
didistribusi luas ke berbagai jaringan tubuh. Terfenidin diekskresi melalui faeces
(60%) dan urine (40%). Waktu paruh 16-23 jam. Efek maksimum telah terlihat
sekitar 3-4 jam dan bertahan selama 8 jam setelah pemberian. Dosis 60 mg
diberikan 2 X sehari.
ASTEMIZOL (3)
Merupakan derivat piperidin yang dihubungkan dengan cincin benzimidazol,
struktur kimia. Astemizol pada pemberian oral kadar puncak dalam darah akandicapai setelah 1 jam pemberian. Mula kerja lambat, lama kerja panjang. Waktu
paruh 18-20 hari. Di metabolisme di dalam hati menjadi metabolit aktif dan tidak
aktif dan di distriibusi luas keberbagai jaringan tubuh. Metabolitnya diekskresi sangat
lambat, terdapat dalam faeses 54% sampai 73% dalam waktu 14 hari. Ginjal bukan
alat ekskresi utama dalam 14 hari hanya ditemukan sekitar 6% obat ini dalam urine.
Terikat dengan protein plasma sekitar 96%.
MEQUITAZIN (4)
Merupakan suatu derivat fenotiazin, struktur kimia lihat Gbr.1. Absorbsinya
cepat pada pemberian oral, kadar puncak dalam plasma dicapai setelah 6 jam
pemberian. Waktu paruh 18 jam, Onset of action cepat, duration of action lama.
Dosis 5 mg 2 X sehari atau 10 mg 1 X sehari (malam hari).
LORATADIN (5,6,7)
Adalah suatu derivat azatadin, struktur kimia Gbr. 1. Penambahan atom C1
meninggikan potensi dan lama kerja obat loratadin. Absorbsinya cepat. Kadar
puncak dicapai setelah 1 jam pemberian. Waktu paruh 8-11 jam, mula kerja sangat
cepat dan lama kerja adalah panjang. Waktu paruh descarboethoxy-loratadin 18-24
jam. Pada pemberian 40 mg satu kali sehari selama 10 hari ternyata mendapatkan
kadar puncak dan waktu yang diperlukan tidak banyak berbeda setiap harinya hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada kumulasi, obat ini di distribusi luas ke berbagai
jaringan tubuh. Matabolitnya yaitu descarboetboxy-loratadin (DCL) bersifat aktif
secara farmakologi clan juga tidak ada kumulasi. Loratadin dibiotransformasi dengan
cepat di dalam hati dan di ekskresi 40% di dalam urine dan 40% melalui empedu.
Pada waktu ada gangguan fiungsi hati waktu paruh memanjang. Dosis yang
dianjurkan adalah 10 mg 1 X sehari. (Lihat tabel)
PENGGUNAAN ANTIHISTAMIN (AH1) NON SEDATIF
AH1 non sedatif mempunyai efek menghambat kerja histamin terutama
diperifer, sedangkan di sentral tidak terjadi karena tidak dapat melalui sawar darah
otak. Antihistanin bekerja dengan cara kompetitif dengan histamin terbadap reseptor
histamin pada sel, menyebabkan histamin tidak mencapai target organ.
AH1 non sedatif umumnya mempunyai efek antialergi yang tidak berbeda
dengan AH1 klasik. Beberapa peneliti melaporkan bahwa untuk penderita seasonal
rhinitis alergika. terfenidin bekerja lebih cepat (1-3 jam) dari astemizol 1-6 hari (8)
karena itu untuk penyakit ini astemizol dianjurkan oleh mereka untuk profilaktik.
Loratadin dan Mequitazin mempunyai mula kerja dan efektivitas yang sama dengan
terfenidin. Diantara AH1 non sedatif Mequitazin yang paling tidak spesifik, karena
masih mempunyai efek antikolinergik.
Efek terhadap "psyvhomotor performance" dari terfenidin, asetemizol,
loratadin dari berbagai penelitian menyatakan tidak dijumpai kelainan (2,3,5).
Pada reaksi wheal dan flare, pemberian per oral terfenidin 60 mg
menunjukkan efek hambatan 1 jam setelah pemberian, efek maksimum 3-4 jam dan
lama kerja 8-12 jam sesudah pemberian (2). Pada loratadin respon wheal akan
ditekan pada pemberian 1-2 jam. (Batenhorst et al 1986). Untuk pemberian jangka
panjang dan untuk penderita yang pekerjannya memerlukan kewaspadaan misalnya
pengemudi mobil lebih sesuai diberi AH1 non sedatif, karena efek sedasi dan
atltikolinergik dari AH1 klasik akan mengganggu penderita. Krause dan Shuter 1985
mendapat hasil astemizol lebih baik pada penggunaan jangka panjang terhadap
urtikaria kronik dibandingkan dengan chlorfeniramin (9). Ferguson et almendapatkan hasil yang bermakna dari perbandingan terfenidin dengan plasebo
dalam menurunkan skor itch dan wheal (10). Loratadin mengurangi sistem chronic
idiopathic urticaria dari pada plasebo (11). Untuk pengobatan seasonal allergic
rhinitis (SAR) (8) telah dilakukan beberapa uji klinik antara lain Katelaris
membandingkan loratidin dengan azatadin pada 34 penderita dan mendapatkan efek
kedua obat sama baiknya, tetapi loratadin kurang efek sampingnya. Pemberian
kombinasi 5 mg loratadin clan 120 mg pseudoefedri 2X sehari untuk pengobatan
SAR memberikan hasil baik (5). Pengobatan rinitis alergik prineal dengan 10 mg
loratadin 1X sehari dan terfenidin 60 mg 2X sehari, selama 4 minggu jelas lebih baik
dari plasebo dalam menurunkan total symptom scores (TSS) (5).
Berbeda dengan AH1 klasik, AH1 non sedatif dengan obat-obat diazepam dan
alkohol, tidak ada interaksi potensial efek sedasi (2,3,5). Takhipilaksis tidak dijumpai
pada 3 AH1 non sedatif (1). Penggunaan yang lama dari astemizol akan menambah
nafsu makan dan berat badan (3).
Toksisitas dan efek Samping
Penyelidikan pada binatang percobaan memperlihatkan dijumpainya toksisitas
yang rendah, sedang aktivitas mutagenik dan karsinogenik tidak dijumpai pada AH1
non sedatif (80). Pemberian dosis terapi AH1 non sedatif meskipun jarang sekali,
dapat juga timbul sedasi dan efek samping lain. Pemberian astemizol lebih dari 2
minggu dapat meningkatkan nafsu makan dan menambah berat badan (3). Pada
beberapa AH1 sedatif ada yang daPat melalui ASI tepai konsentrasinya cukup kecil
(5). Efek antikolinergik jarang sekali terjadi pada penggunaan AH1 non sedatif,
kecuali mequitazin (4,8).
PENUTUP
Kewaspadaan masih dituntut ketika memberikan obat AH1 non sedatif ini,
karena efektivitas dan toleransi obat ini pada setiap individu berbeda. Sebaiknya
pasien masih dilarang mengendarai kendaraan sewaktu memakan obat ini sampai
jelas tidak ada efek sedasi untuk dirinya. Masih merupakan obat pilihan yang
berguna untuk pengobatan alergi seperti rinitis alergika dan urtikaria akut. Untuk
penggunaan jangka panjang sebaiknya di pilih AH1 non sedatif, karena masa
kerjanya panjang dan efek sampingnya kurang dibandingkan dengan AH1 klasik.
KEPUSTAKAAN
1. Milan 1. Brandon: Newer Non sedating Antihistamines, Medical Progres January
1989
2. Sorkin EM. Heel RC Terfenadine: Review of its pharmacodynamic properties and
therapeutic efficacy. Drugs 1985; 29;54-56.
3. Richards DM et al. Astemizole; Review of its pharmacodynamic properties and
therapeutic efficacy, Drugs 1984;28;38-61
4. Ratu Saputri dkk. Medical and Scientific PT. Kenrose Indonesia Mequitazine suatu
antihistamin baru, kumpulan makalah simposium Penatalaksanaan
Penyakit Alergi, 10 September 1988.
5. Clisold SP et al. Loratadine A Preliminary review of its pharmacodynamic
properties and therapeutic efficacy, Drugs 1989;37:42-57.
6. Hilbert J et al. Pharmacokinetics and dose proportionality of Loratadine, J. Clin.
Pharmacoll 1987;27: 694-8.
7. Radwaski E. dkk. Loratadine: Multiple-Dose Pharmakokinetics J. Clin Pharmacol
1987;27:530-3
8. Katelaris C Non sedating antihistamin in perspective, Medical Progress Sept. 1988;
8-12.
9. Krause LB, Shuster SA Comparison of astemizol & chlorpheniramine in
demographic urticaria. British Journal of Dermatology 1985,112;447-
453.
10.Ferguson J. et al. Comparison of terfenadine and placebo in the treatment of
chronic idiopathic urticaria. Presented at the European Society of
Dermatological Researh, Jan. 1984.
11.Monroe EW et al. Efficacy and safety of loratadine in the management of
idiopathic chronic urticaria J. Am Acad Dermatol 1988;19: 138-9.