Sabtu, 21 Februari 2009

Malaria

Penyebaran Malaria


Penyebaran malaria terjadi dalam wilayah-wilayah yang terbentang luas meliputi belahan bumi utara dan selatan, antara 640 lintang utara, dan 320 lintang selatan. Penyebaran Malaria dapat berlangsung pada ketinggian wilayah yang sangat bervariasi, dari 400 meter di bawah permukaan laut, misalnya laut mati, dan 2600m, di atas permukaan laut, misalnya di Londiani, Kenya, atau 2.800m di atas permukaan laut, misalnya di Bolivia.
Plasmodium vivax mempunyai wilayah penyebaran paling luas, dari wilayah beriklim dingin, subtropik, sampai wilayah beriklim tropis. Plasmodium falcifarum jarang ditemukan di wilayah beriklim dingin, tetapi paling sering ditemukan pada wilayah beriklim tropis. Wilayah penyebaran Plasmodium malariae mirip dengan penyebaran Plasmodium falcifarum, tetapi Plasmodium malariae jauh lebih jarang ditemukan, dengan distribusi yang sporadik. Dari semua spesies Plasmodium manusia, Plasmodium ovale paling jarang ditemukan di wilayah-wilayah Afrika beriklim tropis, dan sekali-sekali ditemukan di kawasan Pasifik Barat.
Di Indonesia, secara umum spesies yang paling sering ditemukan adalah Plasmodium falcifarum dan Plasmodium vivax. Plasmodium malariae jarang ditemukan di Indonesia bagian timur, sedangkan Plasmodium ovale lebih jarang lagi. Penemuannya pernah dilaporkan dari Flores, Timor dan Irian Jaya.


Epidemiologi Malaria

Malaria dapat ditemukan mulai dari belahan bumi utara (Amerika Utara sampai Eropa dan Asia) ke belahan bumi selatan (Amerika Selatan); mulai dari daerah dengan ketinggian 2850 m sampai dengan daerah yang letaknya 400m di bawah permukaan laut.
Keadaan malaria di dunia saat ini diperkirakan terdapat 300-500 juta kasus malaria klinis/ tahun dengan 1,5-2,7 juta kematian. Sebanyak 90% kematian terjadi pada anak-anak dengan rasio 1: 4 anak balita di Afrika meninggal karena malaria.
Di Asia Tenggara negara yang termasuk wilayah endemi malaria adalah : Bangladesh, Bhutan, India, Indonesia, Maldives, Myanmar, Nepal, Srilanka, dan Thailand. Di Indonesia malaria ditemukan tersebar luas pada semua pulau dengan derajar dan berat infeksi yang bervariasi. Menurut data yang berkembang hampir separuh dari populasi Indonesia bertempat tinggal di daerah endemik malaria dan diperkirakan ada 30 juta kasus malaria setiap tahunnya.
Malaria di suatu daerah dapat ditemukan secara autokton, impor, induksi, introduksi, atau reintroduksi.
Di daerah yang autokton, siklus hidup malaria dapat berlangsung karena adanya manusia yang rentan, nyamuk dapat menjadi vektor dan ada parasitnya. Introduksi malaria timbul karena adanya kasus kedua yang berasal dari kasus impor. Malaria reintroduksi bila kasus malaria muncul kembali yang sebelumnya sudah dilakukan eradikasi malaria. Malaria impor terjadi bila infeksinya berasal dari luar daerah (daerah endemi malaria). Malaria induksi bila kasus berasal dari transfusi darah, suntikan, atau kongenital yang tercemar malaria.
Keadaan malaria di daerah endemi tidak sama. Derajat endemisitas dapat diukur dengan berbagai cara seperti angka limpa, angka parasit, dan angka sporozoit, yang disebut angka malariometri.
Sifat malaria juga dapat berbeda dari satu daerah ke daerah lain, yang tergantung pada beberapa faktor, yaitu : parasit yang terdapat pada pengandung parasit, manusia yang rentan, nyamuk yang dapat menjadi vektor, dan lingkungan yang dapat menunjang kelangsungan hidup masing-masing.















Cara Penularan

Penularan malaria kebanyakan berlangsung secara alami, yaitu melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. Waktu antara nyamuk menghisap darah yang mengandung gametosit sampai mengandung sporozoit dalam kelenjar liuarnya, disebut masa tunas ekstrinsik. Sporozoit adalah bentuk infektif. Infeksi dapat terjadi dengan dua cara, yaitu :
1. Secara alami melalui vektor, bila sporozoit dimasukkan ke dalam badan manusia dengan tusukan nyamuk
2. Secara induksi, bila stadium aseksual dalam eritrosit secara tidak sengaja masuk dalam badan manusia.
Walaupun jarang. Penularan malaria mungkin terjadi melalui transfusi darah dan atau transplantasi sumsum tulang, melalui semprit injeksi yang terkontaminasi parasit malaria (pada pecandu narkotik). Walaupun juga jarang, penularan bisa terjadi secara kongenital selama bayi masih dalam kandungan, karena berpindahnya infeksi malaria dari ibu ke bayinya melalui peredaran darah plasenta (malaria kongenital).

















Hospes Reservoar


Manusia merupakan satu-satunya reservoir malaria yang penting.
Parasitemia dengan fase aseksual dan gametositemia pada malaria falciparum pada orang yang memiliki kekebalan yang tinggi bisa berlangsung tanpa gejala selama berbulan-bulan. Begitu pula relaps atau kekambuhan malaria vivax menjadi lebih ringan dengan meningkatnya imunitas penderita. Penderita yang asimtomatik yang memiliki gametosit dalam darahnya bisa menjadi sumber penularan dengan perantaraan nyamuk vektornya. Bila terjadi gangguan pada keseimbangan hospes parasit, misalnya karena pertahanan tubuh yang menurun pada trauma yang berat, respon imun yang melemah sesudah operasi pengangkatan limpa, parasit malaria tidak bisa dipertahankan dalam kondisi terkendali sehingga terjadi serangan akut malaria


Vektor Malaria

Di bumi ini hidup sekitar 400 spesies nyamuk Anopheles, tetapi hanya 60 spesies berperan sebagai vektor malaria yang alami. Di indonesia ditemukan 80 spesies nyamuk Anopheles, tetapi hanya 16 spesies yang berperan sebagai vektor malaria. Di Jawa dan Bali, Anopheles sundaicus dan Anopheles aconitus merupakan vektor malaria utama, dan Anopheles subpictus dan Anopheles maculatus sebagai vektor sekunder. Lama hidup nyamuk dipengaruhi oleh kombinasi beberapa faktor, terutama faktor suhu dan kelembaban udara. Oleh karena itu, tingkat penularan malaria tergantung pada beberapa faktor biologis dan klimatis, yang menyebabkan timbulnya fluktuasi dalam lama dan intensitas penularan malaria dalam tahun yang sama atau diantara dua tahun yang berbeda. Untuk bisa berperan sebagai vektor malaria, suatu strain Anopheles harus mempunyai kebiasaan mengigit manusia dan hidup cukup lama untuk memberi waktu yang diperlukan oleh parasit malaria untuk menyelesaikan siklus hidupnya sampai menghasilkan bentuk infektif, dan sesudah itu menggigit manusia lagi. Kebiasaan mengigit nyamuk, menentukan potensinya sebagai vektor malaria. Suhu lingkungan berpengaruh terhadap kecepatan perkembangan parasit malaria dalam tubuh nyamuk. Hal ini menyebabkan intensitas penulran malaria paling tinggi menjelang akhir musim penghujan, dengan populasi nyamuk meningkat secara signifikan.


Hubungan Hospes –Parasit-Lingkungan

Dalam hubungan trias di atas parasit malaria mempertahankan hidupnya sebagai spesies dengan jalan berada dalam tubuh manusia dalam waktu yang cukup lama untuk menjadi gametosit jantan dan betina dan menunggu saat yang tepat untuk ditularkan. Nyamuk Anopheles yang menjadi vektor mempunyai kondisi biologis yang sesuai bagi parasit untuk berkembang menjadi bentuk yang infektif bagi manusia. Manusia sebagai hoespes vertebrata pada dasarnya mempunyai kemungkinan yang sama untuk ditulari parasit malaria, dan terjadinya malaria sangat ditentukan oleh status imunitasnya. Sebagai kesimpulan dari keseimbangan ketiga faktor di atas, tingkat penularan malaria di suatu wilayah ditentukan oelh hal-hal berikut.
1. reservoar. Dicerminkan oleh tingkat prevelensi malaria pada manusia, termasuk adanya penderita malaria akut dan penderita tanpa gejala (asimtomatik) dan kadang-kadang malaria pada kera simpanse dengan parasitemia yang tinggi
2. vektor, kesesuaian spesies atau strain nyamuk Anopheles sebagai vektor, tingkat berkembang biaknya, jarak terbangnya, kebiasaan istirahatnya, kebiasaan makan, dan jumlahnya.
3. Hospes manusia yang baru, yang dimaksudkan di sini adalah adanya kelompok manusia nonimun yang masuk ke wilayah endemis
4. kondisi iklim setempat, terutama faktor suhu dan kelembaban lingkungan
5. kondisi geografis dan hidrografis setempat, ditambah dengan aktivitas dan tingkah laku manusia, memengaruhi tingkat terpajan dan akses mereka kepada tempat-tempat perindukan nyamuk Anopheles





Siklus Hidup Parasit Malaria


Siklus hidup parasit malaria dimulai bila seseorang digigit nyamuk Anopheles (betina) yang mengandung sporozoit. Sporozoit-sporozoit yang masuk bersama ludah nyamuk masuk ke peredaran darah.
Dalam waktu yang sangat singkat (30 menit) semua sporozoit menghilang dari peredaran darah, masuk ke sel-sel parenkim hati. Dalam sel-sel hati (hepatosit) sporozoit membelah diri secara aseksual, dan berubah menjadi sizon hati.
Seluruh proses tadi memerlukan waktu antara 6 sampai 12 hari untuk menjadi lengkap, tergantung dari spesies parasit malaria yang menginfeksi.
Sesudah sizon hati dalam sel hati menjadi matang, bentuk ini bersama sel hati yang diinfeksi pecah dan mengeluarkan antara 5.000-30.000 merozoit, tergantung dari dari spesiesnya, yang segera masuk ke sel-sel darah merah.
Dalam sel darah merah, merozoit-merozoit yang dilepas dari sel hati tadi berubah menjadi trofozoit muda (bentuk cincin). Trofozoit muda tumbuh menjadi trofosoit dewasa, dan selanjutnya membelah diri menjadi sizon. Sizon yang sudah matang dengan merozoit-merozoit di dalamnya dalam jumlah maksimal tertentu tergantung dari spesiesnya, pecah bersama sel darah merah yang diinfeksi, dan merozoit-merozoit yang dilepas itu kembali menginfeksi sel-sel darah merah lain untuk mengulang siuklus tadi. Keseluruhan siklus yang terjadi berulang dalam sel darah disebut siklus eritrositik aseksual atau sizogoni darah. Peristiwa pecahnya sizon-sizon bersama sel-sel darah merah yang diinfeksinya disebut proses sporulasi, dan ini berkorelasi dengan munculnya gejala-gelaja malaria, yang ditandai dengan demam dan menggigil secara periodik. Satu siklus sizogoni darah berlangsung lengkap antara 44-49 jam untuk Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, dan Plasmodium ovale, menyebabkan pola periodesitas tertiana (setiap hari ketiga) dan 72 jam untuk Plasmodium malariae, menyebabkan pola kuartana (tiap hari keempat).
Setelah siklus sizogoni darah berulang kembali beberapa kali, beberapa merozoit tidak lagi menjadi sizon, tetapi berubah menjadi gametosit dalam sel darah merah, yang terdiri dari gametosit jantan dan betina. Siklus terakhir ini disebut siklus eritrositik seksual atau gametogoni. Jika gametotosit yang matang siap diisap oleh nyamuk Anopheles, di dalam lambung nyamuk terjadi proses ekflagelasi pada gametosirt jantan, yaitu dikeluarkannya 8 sel gamet jantan (mikrogamet) yang bergerak aktif mencari sel gamet betina. Selanjutnya pembuahan terjadi antara satu sel gamet jantan (mikrogamet) dan satu sel gamet betina (makrogamet), menghasilkan zigot dengan bentuknya yang memanjang, lalu berubah menjadi ookinet yang bentuknya vermiformis dan bergerak aktif menembus mukosa lambung.
Di dalam dinding lambung paling luar, ookinet mengalami pembelahan inti menghasilkan sel-sel yang memenuhi kista yang membungkusnya, disebut ookista.
Di dalam ookista dihasilkan puluhan ribu sporozoit, menyebabkan ookista pecah dan menyebarkan sporozoit-sporozoit yang berbentuk seperti rambut ke seluruh bagian rongga badan nyamuk (hemosel), dan dalam beberapa jam saja menumpuk di dalam kelenjar ludah nyamuk.
Sporozoit bersifat infektif bagi manusia jika masuk ke peredaran darah. Seluruh fase perubahan yang dialami Plasmodium falciparum dalam tubuh nyamuk vektornya berlangsung antara 11-14 hari, 9-12 hari untuk Plasmodium vivax, 14-15 hari untuk Plasmodium ovale, dan 15-21 hari untuk Plasmodium malariae.
Pada infeksi Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale, saat pecahnya sizon kriptozoit dalam sel hati, sebagian dari merozoit-merozoit yang lepas kembali menginfeksi sel parenkim hati yang lain, dan berubah menjadi sizon lagi. Siklus kedua yang berlangsung di dalam sel hati disebut siklus ekso-eritrositik sekunder (= para-eritrositik). Siklus EE sekunder berlangsung dalam waktu yang jauh lebih lama daripada siklus EE primer, bisa selama beberapa bulan atau beberapa tahun.
Siklus EE sekunder tidak terjadi pada infeksi dengan Plasmodium falciparum dan Plasmodium malariae. Siklus EE sekunder bisa menyebabkan kekambuhan, yang disebut relapse, pada malaria yang disebabkan oleh Plasmodium vivax, dan Plasmodium ovale. Relapse disebabkan oleh merozoit-merozoit yang masuk ke peredaran darah, yang berasal dari siklus EE sekunder.
Suatu strain Plasmodium vivax mempunyai pola relaps yang ditandai oleh rentang waktu yang singkat antara serangan malaria primer dan serangan relaps yang pertama. Strain Plasmodium vivax lainnya ditandai oleh rentang waktu yang lebih lama, yaitu beberapa bulan antara serangan malaria primer dan serangan relaps yang pertama.
Kekambuhan pada malaria Plasmodium falciparum dan Plasmodium malariae disebabkan oleh sisa-sisa Plasmodium yang berasal dari siklus sizogoni darah, yang memperbanyak diri samapi mencapai jumlah yang cukup untuk menimbulkan malaria sekunder. Jenis kekambuhan yang terakhir disebut rekrudesensi.
Sedikit lain dengan teori di atas, sebuah teori lain menyatakan bahwa pada infeksi oleh Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale, sejak semula ada sekelompok sporozoit yang menjalani suatu bentuk uninukleat yang dormant atau laten di dalam sel hati, disebut bentuk hipnozoit, yang kemudian akan menjalani proses sizogoni melalui fase EE sekunder, dan apabila sizon ini pecah menimbulkan relaps atau malaria sekunder.




























Gejala Klinis

Gejala umum Malaria
Gejala malaria terdiri dari beberapa serangan demam dengan interval tertentu (disebut paroksisme), diselingi oleh suatu periode yangt penderitanya bebas sama sekali dari demam (disebut periode laten). Gejala yang khas tersebut biasanya ditemukan pada penderita non-imun. Sebelum timbulnya demam, biasanya penderita merasa lemah, mengeluh sakit kepala, kehilangan nafsu makan, merasa mual di ulu hati, atau muntah. Masa tunas malaria sangat tergantung pada spesies Plasmodium yang menginfeksi. Masa tunas paling pendek dijumpai pada malaria falciparum, yang terpanjang pada malaria kuartana (Plasmodium malariae). Pada malaria yang alami, yang penularannya melalui gigitan nyamuk, masa tunas adalah 12 hari untuk malaria falciparum, 14 hari untuk malaria vivax, 28 hari untuk malaria kuartana, dan 17 hari untuk malaria ovale.


Patogenesis dan Patologi

Setelah melalui jaringan hati, Plasmodium falciparum melepaskan 18-24 merozoit ke dalam sirkulasi. Merozoit yang dilepaskan akan masuk dalam sel RES di limpa dan mengalami fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang lolos dari filtrasi dan fagositosis di limpa akan menginvasi eritrosit. Selanjutnya parasit berkembang biak secara aseksual dalam eritrosit. Bentuk aseksual parasit dalam eritrosit (EP) inilah yang bertanggung jawab dalam patogenesa terjadinya malaria pada manusia. Patogenesa malaria yang banyak diteliti adalah patogenesa malaria yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum.
Patogenesis malaria falciparum dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor penjamu (host).
Yang termasuk dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit, dan virulensi parasit. Sedangkan yang masuk dalam faktor penjamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, usia, status nutrisi, dan status imunologi. Parasit dalam eritrosit (EP) secara garis besar mengalami dua stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam pertama dan stadium matur pada 24 jam kedua. Permukaan EP stadium cincin akan menampilkan antigen RESA (Ring-erithrocite surgace antigen) yang menghilang setelah parasit masuk stadium matur. Permukaan membran EP stadium matur akan mengalami penonjolan dan membentuk knob dengan Histidin Rich-protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya. Selanjutnya bila EP tersebut mengalami merogoni, akan dilepaskan toksin malaria berupa GPI yaitu glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan TNF-alpha dan interleukin-1 (IL-1) dari makrofag.



Gejala Klinis

Manifestasi klinik malaria tergantung pada imunitas penderita, tingginya transmisi infeksi malaria. Berat/ ringannya infeksi dipengaruhi oleh jenis Plasmodium (Plasmodium falciparum memberikan komplikasi), daerah asal infeksi (pola resistensi terhadap pengobatan), umur (usia lanjut dan bayi sering lebih berat), ada dugaan konstitusi genetik, keadaan kesehatan dan nutrisi, kemoprofilaksis dan pengobatan sebelumnya.


Manifestasi Umum Malaria

Malaria mempunyai gambaran karakteristik demam periodik, anemia, dan splenomegali. Masa inkubasi bervariasi pada masing-masing plasmodium. Keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam berupa kelesuan, malaise, sakit kepala, sakit belakang, merasa dingin di punggung, nyeri sendi dan tulang, demam ringan, anoreksia, perut tidak enak, diare ringan dan kadang-kadang dingin.
Gejala yang klasik yaitu terjadinya ’Trias Malaria’ secara berurutan : periode dingin, periode panas, dan periode berkeringat.
Anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria. Beberapa mekanisme terjadinya anemia adalah : pengrusakan eritrosit oleh parasit, hambatan eritropoiesis sementara, hemolisis oleh karena proses complement mediated immune complex, eritrofagositosis, penghambatan pengeluaran retikulosit, dan pengaruh sitokin. Pembesaran limpa (splenomegali) sering dijumpai pada penderita malaria, limpa akan teraba setelah tiga hari dari serangan infeksi akut, limpa menjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. Limpa merupakan organ yang penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi malaria.


Pola demam malaria

Demam pada malaria ditandai dengan adanya paroksisme, yang berhubungan dengan perkembangan parasit malaria dalam sel darah merah. Puncak serangan panas terjadi berbarengan dengan lepasnya merozoit-merozoit ke dalam peredaran darah (proses sporulasi).
Untuk beberapa hari pertama, pola panas tidak beraturan, baru kemudian polanya yang klasik tampak sesuai spesiesnya. Pada malaria falciparum pola panas yang ireguler itu mungkin berlanjut sepanjang perjalanan penyakitnya sehingga tahapan-tahapannya yang klasik tidak begitu nyata terlihat.
Suatu paroksisme demam biasanya mempunyai tiga stadium yang berurutan sebagai berikut :
1. Stadium dingin
Stadium ini mulai dengan menggigil dan perasaan sangat dingin. Nadi penderita cepat, tetapi lemah. Bibir dan jari-jari pucat kebiru-biruan (sianotik). Kulitnya kering dan pucat, penderita mungkin muntah dan pada penderita anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung selama 15 menit-1 jam.
2. Stadium demam
Setelah menggigil/ merasa dingin, pada stadium ini penderita mengalami serangan demam. Muka penderita menjadi merah, kulitnya kering dan dirasakan sangat panas seperti terbakar, sakit kepala bertambah keras, dan sering disertai dengan rasa mual atau muntah-muntah. Nadi penderita menjadi kuat kembali. Biasanya penderita merasa sangat haus dan suhu badan bisa meningkat sampai 410C. Stadium ini berlangsung selama 2-4 jam.
3. Stadium berkeringat
Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali, sampai membasahi tempat tidur. Namun suhu badan pada fase ini turun dengan cepat, kadang-kadang samapi di bawah normal. Biasanya penderita tertidur nyenyak dan pada saat terjaga, ia merasa lemah, tapi tanpa gejala lain. Stadium ini berlangsung 2-4 jam.

Sesudah serangan panas pertama, terjadi interval bebas panas selama antara 48-72 jam, lalu diikuti dengan serangan panas berikutnya seperti yang pertama; dan demikian selanjutnya. Gejala-gejala malaria ’klasik’ seperti yang telah diuraikan tidak selalu ditemukan pada setiap penderita, dan ini tergantung pada spesies parasit, umur dan tingkat imunitas penderita.


Mekanisme Paroksisme Panas

Paroksisme demam pada malaria mempunyai interval tertentu, ditentukan oleh waktu yang diperukan oleh siklus aseksual/ sizogoni darah untuk menghasilkan sizon yang matang, yang sangat dipengaruhi oleh spesies Plasmodium yang menginfeksi.
Demam terjadi menyusul pecahnya sizon-sizon darah yang telah matang dengan akibat masuknya merozoit-merozoit, toksin, pigmen, dan kotoran/ debris sel ke dalam peredaran darah.
Masuknya toksin-toksin, termasuk pigmen ke darah memicu dihasilkannya tumor necrosis factor (TNF) oleh sel-sel makrofag yang teraktifkan. Demam yang tinggi dan beratnya gejala klinis yang lainnya, misalnya pada malaria falciparum yang berat, mempunyai hubungan dengan tingginya kadar TNF dalam darah. Pada malaria oleh Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale sizon-sizon pecah setiap 48 jam sekali sehingga demam timbul setiap hari ketiga, yang terhitung dari serangan demam sebelumnya (malaria tertiana). Pada malaria karena Plasmodium malariae pecahnya sizon (sporulasi ) terjadi setiap 72 jam sekali. Oleh karena itu, serangan panas terjadi setiap hari keempat (malaria kuartana). Pada Plasmodium falciparum kejadiannya mirip dengan infeksi oleh Plasmodium vivax, hanya interval demamnya tidak jelas, biasanya panas badan di atas normal setiap hati, dengan puncak panas cenderung mengikuti pola malaria tertiana (disebut malaria subtertiana).




Kekambuhan (Relaps dan Rekrudesensi)


Serangan malaria yang pertama terjadi sebagai akibat infeksi parasit malaria, disebut malaria primer (berkorelasi dengan siklus sizogoni dalam sel darah merah).
Pada infeksi oleh Plasmodium vivax / Plasmodium ovale, sesudah serangan yang pertama berakhir atau disembuhkan, dengan adanya siklus ekso-eritrositik sekunder atau hipnozoit dalam sel hati, suatu saat kemudian penderita bisa mendapat serangan malaria yang kedua (malaria sekunder). Berulangnya serangan malaria yang bersumber dari siklus EE sekunder pada malaria vivax/ ovale disebut relaps. Umumnya relaps terjadi beberapa bulan (biasanya > 24 minggu) sesudah malaria primer, disebut long-term relapse.
Pada malaria karena Plasmodium falciparum dan Plasmodium malariae, relaps dalam pengertian seperti di atas tidak terjadi, karena kedua spesies ini tidak memiliki siklus EE sekunder dalam hati.
Kemungkinan berulangnya serangan malaria pada kedua jenis malaria ini disebabkan oleh kecenderungan parasit malaria bersisa dalam darah, yang kemudian membelah diri bertambah banyak sampai bisa menimbulkan gejala malaria sekunder. Kekambuhan malaria seperti ini disebut rekrudesensi. Pada malaria karena Plasmodium falciparum rekrudesensi terjadi dalam beberapa hari atau minggu (biasanya <8 minggu) sesudah serangan malaria primer, disebut short-term relapse. Namun pada malaria karena Plasmodium malariae -karena suatu mekanisme yang belum begitu jelas- kekambuhan terjadi dalam rentang waktu yang jauh lebih lama. Bisa terjadi beberapa tahun atau bahkan puluhan tahun sejak serangan malaria pertama.


Malaria pada Kehamilan

Pada wanita hamil. Terjadi penurunan daya pertahanan tubuh atau imunitas karena kehamilan itu sendiri. Gejala-gejala malaria cenderung menjadi lebih berat, terutama pada malaria falciparum. Malaria pada wanita hamil sering menyebabkan hipoglikemi. Pada wilayah dengan tingkat penularan Plasmodium falciparum yang rendah terjadi imunitas yang didapat yang rendah apada penduduk sehingga wanita hamil di daerah ini cenderung menderita malaria yang berat. Akibatnya terjadi abortus, bayi mati dalam kandungan, atau kematian ibu sendiri. Sebaliknya pada wilayah dengan tingkat transmisi Plasmodium falciparum yang tinggi terjadi imunitas yang tinggi, dan wanita hamil cenderung menderita malaria asimptomatik, tetapi menyebabkan anemia dan parasitemia pada peredaran darah plasenta. Kedua kondisi ini menyebabkan berat badan bayi yang rendah dan angka mortalitas neonatus yang tinggi, malaria kongenital, walaupun jarang, mungkin terjadi sebagai akibat perpindahan infeksi parasit malaria dari ibu ke bayinya melalu peredaran darah plasenta yang mengalami kerusakan. Berdasarkan hal-hal diatas, diupayakan sebisanya agar wanita hamil non-imun tidak memasuki wilayah endemis malaria.
Bagi wanita hamil yang hidup di wilayah endemis malaria perlu diberikan perlindungan secara khusus untuk mencegah ditulari malaria.






















Pemeriksaan Laboratorium


Diagnosis malaria secara pasti bisa ditegakkan jika ditemukan parasit malaria dalam darah penderita. Oleh karena itu, cara diagnosis malaria yang paling penting adalah dengan memeriksa darah penderita secara mikroskopis, dengan membuat sediaan darah tipis maupun sediaan darah tebal. Pemeriksaan mikroskopis terhadap sediaan darah merupakan gold standard dalam diagnosis malaria.
Pemeriksaan serologi tidak diperuntukkan untuk diagnosis malaria yang akut, tetapi bisa dideteksi penyakit malaria yang lampau dan perannya adalah dalam penelitian epidemiologi.
1. Pemeriksaan darah
Ada dua jenis sediaan darah malaria, yaitu sediaan tipis dan sediaan tebal. Agar bisa melihat parasit malaria secara jelas di bawah mikroskop, sediaan darah itu perlu diberikan pewarnaan lebih dulu. Pewarnaan yang paling banyak dipakai adalah pewarnaan Giemsa (untuk sediaan tipis dan tebal), pewarnaa Field (untuk sediaan tebal), dan Leishman (untuk sediaan tipis)
2. Berbagai pemeriksaan baru untuk malaria
a. Tehnik Quantitative Coat (QBC)
b. Menetesi sediaan tipis atau tebal dengan larutan akridin oranye
c. Dip stick test
d. Tehnik imunoserologi
e. Tehnik biomelekular











Diagnosis Banding Malaria


Demam merupakan salah satu gejala malaria yang menonjol, yang juga dijumpai hampir pada semua penyakit infeksi seperti infeksi virus pada sistem respiratorius, influenza, demam tifoid, demam dengue, dan infeksi bakterial lainnya seperti pneumonie, infeksi saluran kencing, tuberkulosis.
Pada daerah hiperendemik sering dijumpai penderita dengan imunitas yang tinggi sehingga penderita dengan infeksi malaria tetapi tidak menunjukkan gejala klinis malaria. Pada malaria berat, diagnosa banding tergantung manifestasi malaria beratnya. Pada malaria dengan ikterus, diagnosa banding ialah demam tifoid dengan hepatis, kolesistitis, abses hati, dan leptospirosis. Hepatitis pada saat timbul ikterus biasanya tidak dijumpai demam lagi. Pada malaria serebral harus dibedakan dengan infeksi pada otak lainnya seperti meningitis, ensefalitis, tifoid ensefalopati, tripanososmiasis. Penurunan kesadaran dan koma dapat terjadi pada gangguan metabolik (diabetes, uremi), gangguan serebro-vaskular (strok), eklampsia, epilepsi, dan tumor otak.

















Pencegahan dan Vaksin Malaria


Tindakan pencegahan infeksi malaria sangat penting untuk individu yang non-imun, khususnya pada turis nasional maupun internasional. Kemo-profilaksis yang dianjurkan ternyata tidak memberikan perlindungan secara penuh. Oleh karenanya masih sangat dianjurkan untuk memperhatikan tindakan pencegahan untuk menghindarkan diri dari gigitan nyamuk yaitu dengan cara :
1. Tidur dengan kelambu sebaiknya dengan kelambu impregnated (dicelup pestisida : pemethrin atau deltamethrin)
2. Menggunakan obat pembunuh nyamuk
3. Mencegah berada di alam bebas di mana nyamuk dapat mengigit atau harus memakai proteksi (baju dengan lengan panjang, kaus/stoking). Nyamuk akan menggigit diantara jam 18.00-06.00. Nyamuk jarang pada ketinggian di atas 2000 m.
4. Memroteksi tempat tinggal/ kamar tidur dari nyamuk dengan kawat anti nyamuk

Bila akan digunakan kemoprofilaksis perlu diketahui sensitivitas plasmodium di tempat tujuan. Bila daerah dengan klorokuin sensitif (seperti Minahasa) cukup profilaksis dengan 2 tablet klorokuin (250mg klorokuin diphospat) tiap minggu, 1 minggu sebelum berangkat dan 4 minggu setelah tiba kembali. Profilaksis ini juga dipakai pada wanita hamil di daerah endemik atau pada individu yang terbukti imunitasnya rendah (sering terinfeksi malaria).
Pada daerah dengan resisten klorokuin dianjurkan doksisiklin 100mg/hari atau mefloquin 250mg/minggu atau klorokuin 2 tablet/ minggu ditambah proguanil 200mg/ hari.
Obat baru yang dipakai untuk pencegahan yaitu primakuin dosis 0,5mg/kgBB/hari; Etaquin, Atovaquone/Proguanil, dan Azitromycin.
Vaksinasi terhadap malaria masih tetap dalam pengembangan, hal yang menyulitkan ialah banyaknya antigen yang erdapat pada plasmodium selain pada masing-masing bentuk stadium pada daur plasmodium. Oleh karena yang berbahaya adalah Plasmodium falciparum sekarang baru ditujukan pada pembuatan vaksin untuk proteksi terhadap Plasmodium falciparum. Pada dasarnya ada tiga jenis vaksin yang dikembangkan, yaitu : vaksin sporozoin (bentuk intra-hepatik), vaksin terhadap bentuk aseksual dan vaksin transmission blocking untuk melawan bentuk gametosit.
Vaksin bentuk aseksual yang pernah dicoba adalah SPF-66 atau yang dikenal sebagai vaksin Patarroyo, yang pada penelitian akhir-akhir ini tidak dapat dibuktikan manfaatnya.
Vaksin sporozoit bertujuan mencegah sporozoit menginfeksi sel hati sehingga diharapkan infeksi tidak terjadi. Vaksin ini dikembangkan melalui ditemukannya antigen circumsporozoit. Uji coba pada manusia tampaknya memberikan perlindungan yang bermanfaat, walaupun demikian uji lapangan sedang dalam persiapan.
HOFFMAN berpendapat bahwa vaksin yang ideal ialah vaksin yang multi-stage (sporozoit, aseksual), multivalen (terdiri dari beberapa antigen) sehingga memberikan respon multi-imun. Vaksin ini dengan teknologi DNA akan diharapkan memberikan respon terbaik dan harga yang kurang mahal.




















Pengobatan


Dalam pengobatan malaria, faktor pilihan dan penggunaan obat-obat antimalaria yang efektif disesuaikan dengan jenis kasus malaria yang dihadapi merupakan hal yang sangat penting.
Di samping itu, tidak kalah penting adalah pengobatan penunjang, yang diperlukan untuk memperbaiki gangguan patofisiologi penderita sebagai komplikasi malaria yang berat, misalnya perbaikan keseimbangan cairan dan elektrolit, keseimbangan asam-basa, mengatasi anemia, kejang, hiperpireksia, hipoglikemi, muntah, dan kegagalan fungsi ginjal.
Obat-obat anti-malaria yang umum dipakai menurut golongan kimianya adalah :
1. Derivat kuinolon
a. alkaloid kinkona : kinina, kuinidin, kinkonin
b. 4 amino-kuinolon : klorokuin dan amodiakuin
c. 8 amino-kuinolon : primakuin
2. Derivat para amino benzoic acid (PABA) competitors
a. derivat sulfonamid : sulfadoksin, sulfadiazin, sulfalen
b. derivat sulfon : dapson
3. Derivat dihirofolate reductase(DHFR) inhibitors
a. Diaminopirimidin : pirimetamin
b. Biguanid : proguanil
4. Antibiotik
a. Tetrasiklin, doksisiklin, klindamisin

Di samping obat-obat anti-malaria di atas, sekarang sudah tersedia beberapa obat yang lebih baru, yang dibagi menurut golongan kimianya antara lain :
1. Golongan 4-kuinolon-metanol : meflokuin
2. Golongan 9-fenatren-metanol : halofantrin
3. Golongan hidroksi-naftokuinon : atovakon
4. Golongan seskuiterpen lakton : artemisinin

Obat artemisinin dan derivatnya diisolasi dan dikembangkan dari bahan obat “Qinghaosu”(Artemisia annua) yang telah lama sekali dipakai secara tradisional di negeri Cina.
Tabel berikut memuat beberapa jenis obat antimalaria yang sudah lama dipakai serta efek kerja farmakologi masing-masing terhadap empat Plasmodium manusia dalam beberapa stadium yang dijalani dalam siklus hidupnya. Ternyata golongan obat-obat anti-malaria tertentu mempunyai efek yang berbeda terhadap stadium dan spesies Plasmodium yang berlainan.
Dalam tabel tersebut terlihat jelas bahwa ada obat-obat anti-malaria yang mempunyai efek membunuh fase ekso-eritrositik primer dan sekunder (oleh karena itu, disebut sizontosida jaringan); contohnya adalah primakuin. Dengan demikian, primakuin dipakai untuk mencegah terjadinya relaps pada malaria vivax/ ovale (dipakai bersama klorokuin dalam pengobatan radikal). Klorokuin, amodiakuin, kina dan meflokuin mempunyai efek yang kuat dan cepat terhadap fase eritrositik aseksual (disebut sizontosida darah); oleh karena itu menjadi pilihan untuk mengobati serangan akut malaria. Obat-obat yang efeknya kuat terhadap gametosit disebut sebagai gametosida, contohnya adalah primakuin terhadap gametosit Plasmodium falciparum, dan klorokuin terhadap gametosit Plasmodium vivax/ovale/malariae. Selain itu, ada obat-obat yang mempunyai efek menghambat pertumbuhan gamet dalam nyamuk (sporontosida), contohnya adalah proguanil.



Resistensi Plasmodium terhadap Obat Malaria


Resistensi obat didefinisikan sebagai kemampuan strain parasit malaria untuk dapat hidup dan/atau berkembang biak walaupun telah diberi obat dalam dosis standar atau lebih tinggi daripada dosis standar, tetapi masih dalam batas toleransi penderita.
Secara umum resistensi terjadi sebagai akibat seleksi dan mutasi genetik pada parasit malaria. Ini disebabkan oleh pemakaian obat anti-malaria tertentu dalam waktu yang lama.
Dalam pengobatan malaria, masalah resistensi terhadap obat-obat anti-malaria yang terjadi pada Plasmodium, terutama Plasmodium falciparum yang resisten terhadap klorokuin dan obat-obat anti-malaria lain merupakan masalah yang rumit dan serius. Oleh karena itu, sudah semestinya diperhatikan.
Resistensi terhadap obat anti-malaria yang bekerja lemah dan lambat terhadap fase sizogoni daraha secara relatif lebih cepat timbulnya dibandingkan dengan resitensi terhadap obat yang bekerja kuat dan cepat terhadap sizogoni darah. Di Indonesia, resistensi Plasmodium terhadap pirimetamin dan proguanil sudah diketahui sejak lama. Ini terjadi hanya beberapa tahun sejak keduanya dipakai untuk profilaksis malaria.
Sebaliknya, resistensi P.falciparum terhadap klorokuin baru terjadi kira-kira sesudah 15-20 tahun dipakai dalam pengobatan malaria. Melihat akibat serius yang bisa terjadi karena adanya resistensi terhadap obat anti-malaria, maka yang paling banyak mendapat perhatian adalah resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin dan obat-obat antimalaria lainnya.
Belakangan sebagai respon terhadap terjadinya resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin dan obat-obat lain, berkembang suatu kecenderungan diantara para ahli untuk memakai obat-obat anti-malaria dalam kombinasi, yaitu memakai dua jenis atau lebih obat sizontosida darah yang mempunyai cara kerja farmakologi yang berbeda terhadap parasit malaria, untuk mengobati malaria falciparum.
Tujuan utama pemakaian kombinasi obat-obat antimalaria ini selain untuk meningkatkan efek obat-obat bersangkutan secara sinergis dan aditif, juga mencegah timbulnya resistensi P. Falciparum secara tepat terhadap setiap obat, jika dipakai sendiri-sendiri.
Kombinasi obat-obat antimalaria yang sudah agak lama dipakai dalam pengobatan malaria falciparum adalah
1. kombinasi antara sulfadoksin + pirimetamin (SP) (Fansidar)
2. klorokuin + sulfadoksin-pirimetamin (SP), amodiakuin+ SP
3. kina+ antibiotika, dan meflokuin + artesunat/ artemisinin.
4. Kombinasi yang saat ini masih diteliti khasiat dan keamanannya antara lain adalah
a. atovakuon-proguanil + artesunat
b. SP + artesunat, klorokuin +artesunat, dan amodiakuin + artesunat.


Prognosis Malaria

Prognosis malaria tergantung pada :
1. Kecepatan/ ketepatan diagnosis dan pengobatan. Makin cepat dan tepat dalam menegakkan diagnosis dan pengobatannya akan memperbaiki prognosisnya serta memperkecil angka kematiannya
2. Kegagalan fungsi organ. Kegagalan fungsi organ dapat terjadi pada malaria berat terutama organ-organ vital. Semakin sedikit organ vital yang terganggu dan mengalami kegagalan dalam fungsinya, semakin baik prognosisnya.
3. Kepadatan parasit. Pada pemeriksaan hitung parasit, semakin padat/ banyak jumlah parasitnya yang didapatkan, semakin buruk prognosisnya, terlebih lagi bila didapatkan bentik sizon dalam pemeriksaan darah tepinya.

1 komentar: